SEMARANG - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Yanuarti menyebutkan, jika tidak diawasi dan diatur ketat bukan tidak mungkin media sosial berpotensi menyemai bibit intoleransi dan radikalisme.
Untuk itu, Sri menilai Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berperan besar menerjemahkan secara lebih baik penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Termasuk di dalamnya penggunaan regulasi terhadap medsos.
Intoleransi dan radikalisme lahir dari narasi di media sosial, kata Sri dalam diskusi peluncuran hasil riset intoleransi dan radikalisme di Indonesia oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan LIPI, di Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Kamis (15/11).
Dalam merekam persemaian benih radikalisme dan intoleransi, survei LIPI melakukan penelitian di sembilan provinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, DIY, dan Aceh. Ada pun responden yang terlibat dalam survei sebanyak 1.800 orang yang terbagi 200 responden di masing-masing provinsi.
Menurutnya, penelitian menggunakan metode kuantitatif selama tiga bulan, mulai Juli-September 2018. Tingkat ketidakakuratan penelitian sebesar 2,4 persen.