Klinik Aborsi di Tambun Selatan Ternyata Ilegal
CIKARANG, BEKASI - Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, memastikan Klinik Aditama II yang digerebek petugas kepolisian akibat menjalankan praktik aborsi di Kampung Siluman, Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan, tidak mengantongi perizinan resmi alias ilegal.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Sri Enny Mainiarti mengatakan, hasil penelusuran pihaknya di Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi, klinik tersebut diketahui tidak mengantongi izin.
"Kami sudah telusuri perizinan kliniknya dan memang klinik itu tidak ada izinnya di DPMPTSP karena yang mengeluarkan izin adalah DPMPTSP. Kami sifatnya hanya mengeluarkan rekomendasi setelah ada rekomendasi dari organisasi atau klinik yang menaunginya," kata Enny di Cikarang, Rabu (14/8).
Berdasarkan penelusuran itu pula, didapati bahwa izin Klinik Aditama diketahui berada di alamat lain yakni Perum Taman Raya Bekasi.
"Jadi bukan di tempat yang sekarang, tetapi adanya di Perum Taman Raya itu dari 10 Juni 2014 dan sudah berakhir 10 Juni 2019 lalu," kata Enny.
Keberadaan Klinik Aditama II yang tidak memiliki izin, sebetulnya sudah tercium pihaknya melalui Puskesmas setempat sejak Bulan April 2019 lalu.
Saat itu Puskesmas Tambun selaku penerima tugas pembinaan, pengawasan, dan pendataan klinik melalui forum SKPDs bentukannya sudah memberikan peringatan, agar klinik tersebut melengkapi izinnya sebelum memberikan pelayanan kepada masyarakat.
"Dari bulan April sebetulnya sudah kami samperin dan sudah kami peringatkan juga bahwa pemberian pelayanan bisa diberikan kalau sudah memiliki perizinan lengkap. Dan pelayanannya pun pelayanan kesehatan biasa, bukan aborsi," kata Enny.
Sebelumnya diberitakan, Klinik Aditama II Tambun Selatan digerebek petugas kepolisian pada Minggu (11/08) akibat menjalankan praktik aborsi.
Dari sana petugas mengamankan empat orang, masing-masing HM (25) pelaku aborsi, WS yang merupakan teman dekat HM, pemilik klinik HF, serta seorang bidan berinisial MPN.
Ketiga pelaku dikenakan pasal 83 juncto pasal 64 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan atau pasal 194 juncto pasal 75 ayat 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan ancaman lima tahun penjara.
Sementara pelaku aborsi (HM) dikenakan pasal 346 dan pasal 348 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara. (Ant).