Mayoritas Nelayan di Pantai Jayanti Tak Lagi Melaut
CIANJUR - Sebagian besar nelayan di Pantai Jayanti, Kecamatan Cidaun, Cianjur, Jawa Barat, terpaksa berhenti melaut dan menganggur karena paceklik ikan dan larangan beraktivitas, selama penanganan cepat COVID-19 dilakukan pemerintah pusat hingga daerah.
Ketua Kelompok Nelayan Minacempaka 1, Jojon Mulyana, saat dihubungi Senin (11/5) mengatakan sejak dua bulan terakhir 700 anggota kelompok yang dipimpinnya sudah tidak lagi melaut. Sebagian besar juga mendaratkan perahunya, agar tidak rusak dihantam gelombang yang tinggi, sejak beberapa pekan terakhir.
"Sekarang yang melaut paling banyak 20 orang, itupun hasilnya hanya cukup untuk menutupi kebutuhan rumah tangga selama beberapa hari. Saat ini musim paceklik ikan ditambah Corona, sehingga nelayan tidak dapat beraktifitas normal," kata Jojon.
Nelayan Terpaksa Berutang
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak sedikit yang terpaksa berutang, dengan harapan paceklik segera usai dan Corona hilang. Sedangkan belasan orang di antaranya ada yang bekerja sebagai buruh serabutan, asal cukup untuk membeli beras dan lauk seadanya, guna berbuka dan sahur anggota keluarganya.
Meskipun masih ada yang melaut, tutur Jojon, tidak sampai ke tengah dengan harapan dapat membawa hasil yang cukup untuk menutupi operasional, dan sisanya untuk dibawa ke rumah. Bahkan, tidak jarang nelayan hanya mengandalkan tangkapan untuk dikonsumsi selama bulan puasa.
Meskipun harga ikan cukup tinggi di pelelangan ikan, ungkap Jojon, tidak dapat terpenuhi oleh nelayan yang masih melaut selama beberapa hari, untuk ikan jenis tongkol dijual Rp40.000 per kilogram, tuna dijual dengan harga Rp55.000 perkilogram dan Lobster dijual dengan harga bervariatif mulai Rp25.000 sampai Rp150.000 per kilogram.
"Tapi hasil tangkapan tidak maksimal, untuk Lobster mungkin sedang dalam masa pembibitan jadi susah didapat dan harganya mahal. Mereka yang melaut paling banyak mendapat tuna dan tongkol yang harganya tidak stabil. Harapan kami paceklik dan Corona segera usai, agar nelayan dapat beraktifitas normal," katanya.
Hal senada terucap dari Adil (35) nelayan pinggiran yang terpaksa banting stir menjadi tukang service jaring dan pukat yang dipakai nelayan untuk melaut, meskipun tidak setiap hari mendapat orderan. Untuk biaya hidup sehari-hari, Adil mengandalkan utangan ke tetangga atau saudara, dengan harapan sebelum lebaran sudah terbayar.
"Menjadi nelayan pinggiran atau menjala di pinggir pantai, sudah tidak menjanjikan mendapat hasil maksimal. Paling sehari-hari mencari orderan perbaikan jaring dan pukat yang rusak, lumayan kalau ada bisa bawa uang sampai Rp100.000. Kalau tidak ada terpaksa cari utangan," katanya. (Ant).