Warga Puncak Cijeruk dan Pasir Carius Butuh Jembatan Baru
CIANJUR - Ratusan warga di dua kampung di Kecamatan Leles, Cianjur, Jawa Barat, terpaksa menantang bahaya untuk melakukan aktivitas sehari-hari, karena jembatan penghubung utama dari bambu yang mereka lewati sudah tidak layak.
Tidak adanya akses penghubung lain, membuat warga terutama anak sekolah yang setiap hari melintas harus ekstra hati-hati, terlebih ketika musim hujan landasan jembatan yang hilang sebagian sangat licin dan sulit dilalui.
"Jembatan penghubung antarkampung Puncak Cijeruk dan Pasir Carius, sudah rusak sejak beberapa tahun terakhir. Namun hingga saat ini, tak kunjung mendapat perhatian pemerintah untuk diperbaiki," kata Ilham Hendrayana (34) seorang warga saat dihubungi Kamis (1/8).
Ia menjelaskan, jembatan bambu Pasir Carius itu, setiap harinya dilewati warga untuk aktivitas ekonomi, mulai dari penjualan hasil bumi hingga kegiatan lain, termasuk jembatan yang dipakai pelajar SD dan SMP untuk sampai ke sekolah.
"Jembatan ini memang akses vital untuk warga, semua kegiatan warga mulai dari membawa hasil pertanian sampai pergi ke kantor kecamatan menggunakan akses jembatan ini," kata Ilham.
Tidak ada akses lain dari kedua kampung ke kampung lainnya atau ke pusat perkotaan di Kecamatan Leles. Meskipun ada jalan harus memutar melalui Desa Puncak Wangi dan Sirnasari, yang membutuhkan waktu tempuh hingga tiga jam menuju kantor kecamatan.
"Kalau lewat jembatan paling lama untuk sampai ke pusat kecamatan hanya satu jam. Beberapa bulan yang lalu masih bisa dilalui sepeda motor, namun saat ini landasan jembatan sudah banyak yang patah," ungkap Ilham.
Ia menjelaskan, sepeda motor terkadang memaksakan diri untuk melintas, namun harus sangat berhati-hati karena jembatan sepanjang 20 meter dengan ketinggian 12 meter itu rawan patah.
Udis (42), warga lainnya, berharap Pemkab Cianjur segera memberikan bantuan dan membangun jembatan gantung yang layak dan dapat dilalui kendaraan roda dua untuk memudahkan warga beraktivitas, termasuk meningkatkan roda perekonomian.
"Seingat saya dulu, sebelum ada jembatan warga beraktivitas dengan cara menyeberang sungai. Kalau sedang musim hujan arusnya sangat deras dan sangat membahayakan keselamatan," kata Udis.
Ia menambahkan, saat ini setiap hari beberapa orang warga harus berjaga secara bergantian di jembatan tersebut, guna menyeberangkan anak-anak dan orang tua yang hendak menyeberang, sebagai upaya menghindari hal yang tidak diinginkan.
"Perbaikan sejak dulu hingga saat ini, hanya secara swadaya dengan mengganti landasan bambu yang patah atau rusak. Impian kami memiliki jembatan gantung, syukur-syukur jembatan permanen dibangun pemerintah," harap Udis. (Ant).