'Bibliotherapy' di Kolecer
BANDUNG - Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah, menggagas Kotak Literasi Cerdas (Kolecer) yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca warga.
Akan tetapi bagi pengelola Kolecer Kabupaten Bandung, Elis Ratna Suminar, Kolecer merupakan ruang pengobatan berbagai masalah emosional dan mental lewat buku, atau dikenal dengan nama bibliotherapy.
“Itu inovasi yang kami hadirkan. Kami percaya bahwa buku tidak hanya sebatas bacaan, ada sisi-sisi lain dari buku yang bisa menghadirkan kebahagiaan,” kata Elis usai menghadiri acara Tepas (Temu Pimpinan untuk Aspirasi Masyarakat) di Gedung Negra Pakuan, Kota Bandung, Jumat (10/1).
“Kami melakukan bibliotherapy kepada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), skizofrenia, bipolar, dan orang-orang yang memiliki kecemasan tinggi,” tambahnya.
Selain itu, kata Elis, anak-anak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maupun anak-anak yang memiliki kecerdasan kinetik (hiperaktif), tidak luput dari perhatiannya.
Jika masyarakat yang memiliki masalah emosional dan mental mengunjungi Kolecer, Elis akan membacakan buku-buku terapi, seperti Cara Memaafkan.
“Setelah dibacakan buku-buku terapi, mereka akan lebih tenang dalam menjalani hidup. Kami juga menghadirkan Servis Hati yang di dalamnya ada anak-anak korban KDRT. Terapi kami berikan agar mereka bisa melupakan pengalaman tidak baiknya dan berbahagia,” katanya.
Sejak Kolecer diluncurkan, Elis sudah menerapi 52 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan membina 80 anak jalanan.
Bibliotherapy sendiri dihadirkan Elis, karena dia percaya bahwa Kolecer harus memiliki dampak bagi masyarakat, selain meningkatkan minat baca.
“Jumlah kunjungan masyarakat ke Kolecer Kabupaten Bandung itu rata-rata 1.200 per bulan. Dan 20 persen di antaranya adalah individu-individu yang memiliki masalah dengan emosi maupun jiwanya,” katanya.
“Kolecer ini menyeluruh sampah masyarakat yang paling bawah. Impact dari Kolecer Kabupaten Bandung itu, dengan membaca, sehat lahir dan pikirannya. Terapi di Kolecer itu tergantung kondisi jiwa. Di cari runut masalahnya. Lalu, dicari judul buku yang tepat,” katanya.
Elis pun mengapresiasi langkah cepat Pemda Provinsi Jabar, dalam menyediakan buku-buku yang dapat digunakan untuk terapi.
“Saya dulu pegiat literasi jalanan, dan Bapak Gubernur Jabar (Ridwan Kamil) memerhatikan keberadaan kami,” katanya.
Pengelola Kolecer Kabupaten Cianjur, Dini Dwi Widya, tidak mau ketinggalan. Wowo, boneka lucu milik Dini, adalah wujud inovasi Kolecer di tempatnya.
Sebagai pengelola Kolecer, ia yang merupakan pendongeng ini memotivasi anak-anak untuk membaca lewat cerita Wowo.
"Sekitar 60 persen (ke Kolecer) itu anak-anak, karena ada boneka khusus yang menggaet anak-anak untuk datang, sisanya 30 persen remaja dan 10 persen orang dewasa," kata Dini.
"Kolecer luar biasa sekali, respons bagus dan selalu ramai setiap hari terutama hari libur. Buku beragam ada sekitar 150 buku, mayoritas buku anak. Lainnya ada novel, buku agama, resep, dan tentang obat-obatan," tambahnya.
Selain membaca dan mendengarkan dongeng, banyak kegiatan lain di Kolecer Kabupaten Cianjur yang digelar bersama komunitas, di antaranya edukasi pengolahan sampah dan Operasi Tangkap Tangan kantung plastik, untuk ditukar dengan tas belanja ramah lingkungan bersama Zero Waste Cianjur.
“Kegiatan itu juga jadi magnet orang-orang sekitar. Selain itu, warga sekitar alun-alun dan pendopo malah sudah biasa sebelum madrasah, mampir dulu ke Kolecer," kata Dini.
Sementara itu, Gubernur Jabar, M Ridwan Kamil, mengatakan literasi bukan hanya sekadar suka baca tapi juga benteng pertahanan terhadap perang di masa depan, melalui perang informasi.
"Mari kita bangkitkan literasi di semua lini, dan jangan lupa dunia kini berubah sudah terevolusi oleh digital dan kita harus menyesuaikan," kata Emil, sapaan Ridwan Kamil.
Agar minat membaca di Jabar semakin meningkat, Emil pun berharap segala sesuatu berkaitan dengan literasi disebut dengan gerakan.
Ia mengimbau kepada pegiat, duta, maupun pemerhati literasi untuk mengubah kata proyek atau program literasi, dengan dengan kata gerakan, agar masyarakat yang mendengar dan tergerak hatinya pun bisa ikut terlibat.
"Urusan literasi harus kita sebut dengan gerakan bukan proyek atau program. Contohnya ibu-ibu penjual gorengan di Kuningan, dia bukan pemerintah tapi tahu manfaat membaca ini, maka akhirnya menyisikan untuk menyumbang buku disitulah yang disebut gerakan," tuturnya. (Ant).