Apa Maksud Jokowi Sebut Politik Genderuwo?
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki istilah khusus untuk menggambarkan perilaku berpolitik tak beretika yang menebar ketakutan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Berangkat dari mitos Jawa mengenai makhluk halus, Jokowi menyebut hal itu sebagai "politik genderuwo", politik yang menakut-nakuti.
"Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Itu namanya politik genderuwo, menakut-nakuti," ujar Jokowi seperti yang dirilis oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, Jumat (9/11).
Menurut Jokowi, politik dan pesta demokrasi itu sudah semestinya disambut dan dihinggapi rasa gembira oleh masyarakat Indonesia, bukan untuk menakut-nakuti.
Presiden melihat bahwa sekarang ini banyak politikus yang pandai memengaruhi masyarakat, namun yang amat disayangkan olehnya, para pelaku politik cenderung tidak memandang etika berpolitik dan keberadaban.
"Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan dan kekhawatiran. Setelah takut, yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat emang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga, masyarakat akan menjadi ragu-ragu," kata Presiden.
Jokowi berharap agar cara-cara berpolitik seperti itu segera ditanggalkan dan selayaknya bagi masyarakat untuk memperoleh contoh politik yang baik dan menghadirkan kegembiraan pesta demokrasi di Indonesia.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menambahkan, dengan kegembiraan itu, masyarakat dapat memberikan suaranya secara jernih dan rasional bagi pemimpin yang dirasa tepat memimpin Indonesia.
Menurutnya, kegembiraan demokrasi ini tentu hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang sesuai dengan kesantunan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Politik yang dibiarkan berjalan dengan menihilkan etika sudah sewajarnya harus dihindari.
"Kita harus mengarahkan kematangan dan kedewasaan berpolitik dengan cara-cara seperti itu (santun). Oleh sebab itu, sering saya sampaikan: hijrah dari ujaran kebencian kepada ujaran kebenaran, hijrah dari pesimisme kepada optimisme, hijrah dari kegaduhan ke kerukunan dan persatuan," pungkasnya. (Ant)