Apa urgensi Komnas HAM urus TWK KPK?
Tujuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memanggil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) dipertanyakan. Pakar Hukum Yenti Garnasih mengaku, heran dengan pemanggilan tersebut.
"Saya juga tidak tahu, kenapa sih begitu? Apa sih kaitannya Komnas HAM. Harusnya kan berkaitan dengan apa yang dilakukan seseorang atau lembaga lain yang melanggar HAM. Nah, ini apa dong? Ketua KPK melanggar HAM-nya di mana?" tanya Yenti Garnasih kepada wartawan, Rabu (9/6).
Terlebih, TWK merupakan produk dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kemudian, kata dia, BKN memiliki tim dalam merumuskan pertanyaan tes tersebut. "Kalau menurut saya, apa urgensinya memanggil? Apalagi Pak Firli itu kan sedang bekerja, kok bolak balik dipanggil," tuturnya.
Yenti menilai, sudah tepat Firli tidak memenuhi panggilan Komnas HAM. "Benar lah tidak usah datang. Pak Firli melanggar HAM yang mana? Mau ditanya apa ke Pak Firli? Kan, harusnya berkaitan. Misal policy, di dalam policy itu ada pelanggaran HAM. Pak Firli tidak mengeluarkan policy apa-apa," kata Yenti.
Menurut dia, kebijakan yang dikeluarkan pimpinan KPK merupakan amanat dari Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kalau TWK dianggap melanggar HAM, Komnas HAM seharusnya memanggil pembuat UU. Itu juga kalau ada konten yang dianggap melanggar HAM.
Sehingga, dia menilai, Komnas HAM tidak tepat memanggil Firli Bahuri jika mempermasalahkan UU tersebut. "Kalau itu mau dipermasalahkan, yang dipanggil bukan Firli, yang dipanggil ya DPR dan pemerintah yang waktu itu membuat UU KPK. Kalau berkaitan dengan apa yang dipertanyakan di dalam tes-tes itu, itu yang dipanggil BKN," tuturnya.
Dia mengingatkan, bahwa BKN memiliki standarisasi dalam tes. Komnas HAM tidak bisa langsung menduga ada pelanggaran dalam TWK. "Penguji itu kan punya sertifikasi, enggak boleh dong diinterupsi seperti itu. Coba Komnas HAM melihat sendiri, berkaitan dengan apa Firli dipanggil? Pelanggaran HAM apa yang dilakukan Firli," tanya Yenti.
Yenti khawatir segala sesuatu dipolitisasi. Menurut dia ruang politik ada di DPR, saat UU dibuat. Seharusnya nuansa politik sudah berakhir. Jangan ada lagi sentuhan politik. Komnas HAM, organisasi yang selama ini dikenal independen harus bisa melepaskan diri dari nuansa politik.
"Ya, kalau independen seharusnya tidak boleh sampai menimbulkan praduga mereka berpolitik. Jangan juga malah tambah gaduh," kata Yenti.