Dinilai buat gaduh, Setara Institute minta polemik TWK KPK dihentikan
Polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dihentikan. Kalau ada yang merasa dirugikan, lebih baik menempuh jalur hukum daripada membangun opini.
"Sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka," kata Ketua Setara Institute Hendardi kepada wartawan, Kamis (10/6).
Hendardi menilai, seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan lainnya tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer, tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu.
Dia berpendapat, bahwa hukum itu adalah mekanisme bernegara dan demokratis yang tersedia. "Bukan dengan manuver-manuver politik picisan seperti ke PGI atau MUI atau lainnya. Ini sejatinya persoalan tidak lulus bukan soal agama. Ngapain harus ke lembaga-lembaga agama misalnya," katanya.
Menurut dia, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN bukan saja tidak tepat, tetapi juga terkesan mengada-ada karena seperti hanya terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK yang tidak lulus TWK.
Hendardi memperkirakan jumlahnya kurang dari 5,4% dari total pegawai KPK. Dia melanjutkan, TWK yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yang profesional adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN).
TWK merupakan perintah undang-undang (UU) dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
"Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana. Pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM," ujar Hendardi.
Menurut dia, seharusnya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi di mana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN.
"Analoginya, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM?" imbuhnya.
Dia berpendapat, bahwa dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM. Sehingga Komnas HAM tidak bisa dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan kepentingan apapun.
"Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights)," katanya.
Diketahui, ada sembilan poin yang membuat karyawan KPK tidak lulus TWK. Antara lain mengakui setuju Pancasila diubah dan tidak setuju pembubaran FPI dan HTI.
Mengenai hal tersebut, Pakar Hukum Petrus Selestinus menilai, sudah sepatutnya para pegawai KPK yang setuju Pancasila diubah dan tidak setuju pembubaran FPI dan HTI, tidak lulus uji menjadi ASN.
"Mereka sudah sepatutnya dan sangat berlasan hukum untuk dinyatakan tidak lulus. Organisasinya saja dibubarkan karena tidak sepakat dengan ideologi Pancasila, bahkan orangnya bisa dipidana," kata Petrus.
"Juga harus diingat ASN itu wajib memiliki karakter nilai dasar, kode etik dan kode perilaku yang menjadi prinsip dasar seluruh ASN," kata Petrus.
Petrus berharap KPK setelah ada TWK bisa bersih dari orang-orang yang menyimpang.