Ganjar-Mahfud Mampu Perbaiki Rapor Merah Jokowi soal HAM
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi menilai pasangan bakal calon presiden Ganjar Pranowo dan bakal calon wakil presiden Mahfud MD (Ganjar-Mahfud) bisa memperbaiki rapor merah pemerintah pada aspek hak asasi manusia (HAM) jika terpilih jadi presiden dan wakil presiden di Pilpres 2024.
Secara khusus, Ade menyinggung rekam jejak Mahfud yang positif dalam berbagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM selama menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
"Prof Mahfud punya rekam jejak penyelesaian HAM nonyudisial terhadap korban-korban pelanggaran HAM di masa lalu, seperti pemulihan nama baik, perbaikan ekonomi, pengadaan rumah, serta pemulihan hak-hak eksil yang dulu di era Orde Lama tertahan di luar negeri cukup lama," kata Ade kepada wartawan di Jakarta, belum lama ini.
Pekan lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Amnesty International Indonesia (AII) memberi rapor merah terhadap situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di tahun keempat pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf).
Menurut kajian dua LSM itu, setidaknya terdapat 211 proyek dan 13 program prioritas yang menjadi perhatian pemerintahan Indonesia dengan estimasi nilai investasi (capex) mencapai Rp5.746,8 triliun. Proyek dan program prioritas era Jokowi itu memicu kasus-kasus kekerasan berbasis investasi.
Ade sepakat dengan temuan dua lembaga itu. Ia berkata proyek strategis nasional (PSN) era Jokowi memang terbukti banyak menimbulkan permasalahan lingkungan. Lahan masyarakat adat juga kerap diserobot karena investasi cenderung dipaksakan, tanpa menimbang hajat hidup masyarakat yang tinggal lebih dulu di lokasi proyek-proyek tersebut.
"Mahfud saya rasa bisa mengubah rapor merah ini. Pekerjaan rumah Mahfud adalah bagaimana program-program pembangunan itu tidak hanya terhadap lingkungan, tapi juga ramah terhadap kepentingan sipil. Saya kira itu pekerjaan rumah yang harus dijalankan Pak Mahfud bila terpilih," kata Ade.
Ganjar-Mahfud, saran Ade, harus memiliki peta jalan yang ciamik untuk model-model investasi berperspektif HAM. Lewat peta jalan itu, pasangan yang diusung PDI-P, Perindo, Hanura, dan PPP tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan hak asasi warga negara.
"Saya kira itu bisa menjadi salah satu modal Prof Mahfud untuk membuat peta jalan hal yang masih menjadi pekerjaan rumah. Sekaligus peta jalan yang lebih ramah terhadap hak- hak asasi manusia. Saya kira yang menjadi nilai lebih yang bisa ditawarkan Pak Mahfud terkait dengan isu- isu hak asasi manusia yang saat ini menjadi catatan," ucap Ade.
Lebih jauh, Ade berpendapat Mahfud juga harus berani mengoreksi model investasi pemerintahan Jokowi yang sentralistik dan sering menerabas hak-hak masyarakat. Model kebijakan sentralistik yang diterapkan dalam proyek-proyek strategis nasional kerap menimbulkan konflik antara negara dan masyarakat.
"PSN itu kan sifatnya top-down dan sentralistik agar tereksekusi dengan cepat maka dia menerabas hambatan birokrasi dan regulasi. Dampaknya, di antaranya adalah mengabaikan ruang partisipasi publik sehingga di lapangan menimbulkan dilema yang lain. Minim partisipasi publik sekaligus potensi pelanggaran HAM yang cukup tinggi," kata Ade.
Catatan Mahfud yang mentereng pada penegakan hukum dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM, kata dia, perlu ditransformasikan menjadi kampanye format invetasi yang lebih ramah terhadap hak masyarakat. Sehingga, menjadi model investasi yang lebih positif ketimbang dianggap melanjutkan warisan negatif Presiden Jokowi pada bidang investasi.
"Kita harus belajar dari pengalaman saat ini. Investasi harus lebih ramah terhadap HAM dan partisipatif dengan masyarakat. Saya rasa Mahfud bisa menyelesaikan pekerjaan rumah ini. Hambatan-hambatan bisa diatasi, tetapi juga tidak menghilangkan demokratisasi di dalam pembangunan," ucap Ade.
Saat ini, sejumah PSN menimbulkan kontroversi. Proyek Rempang Eco City di Batam, Riau, misalnya, menyebabkan ribuan warga harus tergusur. Setidaknya ada sekitar 2.000 warga Rempang yang menolak direlokasi. Protes warga kerap ditanggapi dengan intimidasi dan kekerasan, baik verbal maupun fisik.