Indonesia Bangsa Akomodatif, Tidak Ekstrem
Jakarta - Pemerhati isu-isu strategis Profesor Imron Cotan menyatakan, proses pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa, sudah dimulai sejak masa kolonial Belanda di Abad 18.
Proses itu tak henti, terus berlanjut hingga memasuki masa pergerakan nasional di Abad 20, dan bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Hal itu dikatakan Imron dalam Webinar Moya Institute bertajuk Momentum Hari Pahlawan: Peneguhan Kembali Nasionalisme, Senin (15/11/2021).
"Wujud geografis kita sebagai negara kepulauan, yang terletak di antara dua samudra dan dua benua, membuat bangsa kita memiliki ciri khas yang berbeda dengan negara-negara kontinental, seperti AS, China, dan Australia." ujar Cotan.
"Posisi geografis yang demikian membuat bangsa kita cenderung akomodatif. Tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan," tambah Mantan Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok itu.
Masih kata Cotan, peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, merupakan 'tes' pertama kita sebagai bangsa dalam menghadapi ancaman.
Yang patut diingat, sambung Cotan, para pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan kala itu berasal dari berbagai etnis, agama maupun ras.
"Saya sendiri menemukan, ternyata dalam makam-makam pahlawan di berbagai kota Indonesia terdapat makam para pahlawan yang berasal dari berbagai etnis, ras, dan agama, seperti tercermin pada nama-nama di batu nisan mereka," ujar Cotan.
"Sejarah bangsa kita menunjukkan, bahwa nasionalisme kita pasti bangkit ketika ada ancaman tertentu, tanpa harus diajar-ajari. Dan Nasionalisme kita, memang berbasis kebhinekaan," tambah mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia itu. Karena tantangan saat ini sudah berbeda, yang diwarnai antara lain oleh kemajuan IT, sosmed, dan pandemi, maka memang diperlukan upaya untuk "reinvent sense of our nationalism" (pembaharuan rasa kebangsaan), agar Indonesia mampu meraih tahun keemasannya pada tahun 2045 yang akan datang.
Pada kesempatan yang sama, psikolog klinis dan forensik yang juga Pegiat Perempuan Kasandra Putranto menegaskan, meski sudah bukan di masa perang kemerdekaan lagi, namun bangsa Indonesia sesungguhnya sampai sekarang masih menghadapi berbagai 'perang'.
Perang yang dihadapi bangsa saat ini, menurut Kasandra bukanlah perang bersenjata sebagaimana zaman revolusi kemerdekaan dulu.
"Misalnya dua tahun ini, kita sedang perang melawan virus Covid 19. Lalu ada juga perang cyber, perang biochemical, dan ada juga perang ideologi, ketika orang-orang sekarang ini sangat mudah saling menghujat hanya karena perbedaan pandangan politik, ini semua tantangan kita saat ini," ujar Kasandra.
Kasandra pun menyinggung tentang kemampuan bangsa sekecil Korea Selatan, yang mampu mendunia dengan K-Pop nya. Dia mengatakan, globalisasi saat ini mungkin bisa mendatangkan kerugian bagi bangsa Indonesia, termasuk akibat 'serbuan' budaya asing semacam K-Pop.
Namun, di sisi lain, menurut Kasandra kita juga bisa belajar dari keberhasilan Korea dengan K-Pop nya.
"Mengapa bangsa sekecil itu mampu mempengaruhi dunia dengan K-Popnya. Dan mereka sangat mencintai K-Pop nya, yang adalah budaya mereka sendiri. Itu yang bisa dan harus kita pelajari," ujar Kasandra.
Disisi lain, dalam Webinar yang sama, pengacara sekaligus aktivis politik Kapitra Ampera menyinggung tentang nasionalisme di bidang ekonomi.
Menurut Kapitra, dalam menggelorakan rasa nasionalisme di bidang ekonomi tak cukup dengan hanya mengimbau masyarakat untuk cinta produk-produk Indonesia.
"Kita juga harus bisa memproduksi produk-produk berkualitas, agar bisa merebut pasar," ujar Kapitra
"Jangan hanya mengimbau masyarakat untuk membeli produk Indonesia, tanpa ada upaya meningkatkan mutunya," tambahnya.
Kapitra menyatakan, kesuksesan China menghasilkan produk-produk yang kompetitif, sehingga bisa bersaing dengan produk-produk Barat patut dijadikan contoh.
"Hanya dengan menghasilkan produk-produk kompetitif, ketergantungan kita pada produk-produk impor bisa semakin dikurangi," ujarnya.