Konsumsi Rokok Kurangi Belanja Kebutuhan Pokok Rumah Tangga
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan, konsumsi rokok mengurangi belanja kebutuhan pokok rumah tangga dan ciptakan ilusi kesejahteraan bagi 8,8 juta penduduk miskin. Hal tersebut disampaikan CISDI dalam peluncuran dua riset terbaru bertajuk Efek Crowding-out Konsumsi Tembakau di Indonesia dan Efek Kemiskinan Akibat Konsumsi Tembakau di Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta (30/8).
Riset Efek Crowding-out Konsumsi Tembakau di Indonesia menyebut rata-rata keluarga dan rumah tangga perokok gunakan 10,89% anggaran bulanan untuk membeli rokok. CISDI menyebut rumah tangga dengan perokok rata-rata lebih sedikit belanjakan anggaran untuk kebutuhan lain selain rokok.
“Dengan kata lain, keluarga perokok mengurangi anggaran rumah tangga untuk komoditas lain, seperti makanan, pakaian, pendidikan, hingga kesehatan untuk membeli rokok,” tutur Principal Investigator riset CISDI I Dewa Gede Karma Wisana, dalam pertemuan tersebut.
Dewa menjelaskan berkurangnya belanja kebutuhan pokok rumah tangga akibat belanja rokok disebut efek crowding-out. Kehadiran efek ini berdampak buruk terhadap rumah tangga.
“Riset kami menunjukkan, rumah tangga dengan pengeluaran untuk rokok cenderung memiliki asupan kalori harian lebih rendah, dibandingkan yang lain,” tutur Dewa kembali.
Simulasi CISDI menunjukkan penurunan belanja rokok sebesar 50% (dari Rp407.285 menjadi Rp203.643), berpotensi tingkatkan belanja kebutuhan pokok, seperti beras, sebesar 14% atau dari Rp266.099 menjadi Rp338.142.
“Singkatnya, mengurangi belanja rokok akan tingkatkan anggaran untuk pemenuhan nutrisi dan kebutuhan pokok lain yang dapat dinikmati seluruh anggota keluarga,” tutur Dewa.
Senada dengan itu, pemapar riset kedua Efek Kemiskinan Akibat Konsumsi Tembakau di Indonesia, Vid Adrison, menekankan distorsi angka kemiskinan yang ditimbulkan konsumsi rokok dalam rumah tangga. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan jumlah pengeluaran rumah tangga untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga, termasuk menentukan keluarga berada di bawah garis kemiskinan atau tidak.
“Pengeluaran rumah tangga mencakup kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan. Kebutuhan dasar makanan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan 2100 kkal per kapita per hari. Ada 52 komoditas yang digunakan termasuk tembakau yang tidak memberikan kalori. Itu berarti, sebagian masyarakat yang hampir miskin sebetulnya tidak bisa memenuhi kebutuhan minimum 2100 kkal jika sebagian pengeluarannya dialokasikan untuk konsumsi tembakau, ” tambah Vid.
Selain ada pengeluaran untuk tembakau, ada alokasi dana yang harus dikeluarkan akibat dampak negatif konsumsi tembakau, misalnya biaya kesehatan. Akibatnya, bagi sebagian masyarakat yang hampir miskin, uang yang tersisa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori minimum. Namun begitu, mereka tidak tercatat sebagai masyarakat miskin. Inilah yang disebut sebagai ‘ilusi kesejahteraan.
“Bila belanja tembakau dan biaya kesehatan akibat tembakau dikeluarkan dari perhitungan total pengeluaran rumah tangga, angka kemiskinan pada 2021 bisa meningkat dari 10,14% menjadi 13,37% atau setara dengan penambahan 8,8 juta orang dari 1,9 juta rumah tangga,” tutur Vid kembali.
Kedua riset ini menunjukkan bahwa upaya pengendalian tembakau dapat berdampak positif pada upaya penanganan kemiskinan di Indonesia.
SementaraResearch Associate CISDI Arya Swarnata menyatakan, langkah-langkah pengendalian tembakau yang efektif dibutuhkan untuk mendorong pengurangan belanja tembakau rumah tangga yang sia-sia, yang dapat berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga.
Berdasarkan catatan kedua peneliti tersebut, CISDI rekomendasikan pemerintah untuk alokasikan penerimaan cukai rokok untuk program-program kesehatan dan pendidikan, khususnya untuk populasi berpendapatan rendah. Tingkatkan tarif cukai tembakau dan harga jual eceran minimum untuk turunkan keterjangkauan rokok. Serta simplifikasi struktur tarif cukai rokok untuk mengurangi variasi harga rokok dan untuk mencegah substitusi konsumsi ke produk yang lebih murah