Pembentukan Mahkamah Etika jadi sarana pejabat publik patuhi standar etika
Pembentukan Mahkamah Etik Nasional sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran etika di semua tingkatan pemerintahan dinilai penting dilakukan.
“Saat ini, meskipun sudah ada beberapa lembaga etik di institusi-institusi, efektivitasnya masih dipertanyakan,” kata Juanda, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertema Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Sumatera Utara, Medan, Jumat (1/11).
Dewan atau Mahkamah Etik Nasional ini diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas dan mandiri untuk mengawasi para penyelenggara negara dalam mematuhi standar etika yang ada.
Namun, Juanda mengakui, pembentukan lembaga etik saja tidak cukup. Perubahan nyata harus dimulai dari pendidikan etika yang kuat sejak usia dini hingga di perguruan tinggi.
Juanda menyoroti betapa masih lemahnya penerapan etika dalam hukum dan pemerintahan di Indonesia. Padahal, dalam praktik berbangsa dan bernegara, Indonesia sudah memiliki Pancasila sebagai dasar negara.
“Sebagai bangsa yang merdeka, ideologi Pancasila adalah kesepakatan nasional yang telah dinormalkan dalam konstitusi,” ujarnya.
Lemahnya penerapan etika itu memunculkan paradoks negara hukum di Indonesia. Juanda mempertanyakan konsepsi tersebut yang juga tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
"Apakah benar Indonesia sudah menjadi negara hukum? Keadilan belum terpenuhi, korupsi masih jalan, dan kedisiplinan publik masih kurang. Sulit menjawabnya dengan jernih," katanya,
Ia menegaskan, etika seharusnya menjadi energi utama dalam penegakan hukum, bukan sekadar hukum normatif yang terpisah dari moral.
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal menambahkan, perlunya penguatan kurikulum etika agar generasi mendatang dapat lebih menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam menjalankan profesi mereka.
“Saya yakin, dengan persatuan dan kesadaran etika yang tinggi, Indonesia bisa menjadi negara makmur di 2045,” ujarnya.
Tanpa etika, para pemangku kebijakan akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, seperti yang terjadi pada fenomena nepotisme di beberapa daerah.
Ia juga mengkritik sejumlah oknum pejabat yang terlibat dalam skandal, baik di legislatif maupun yudikatif, yang menggambarkan rapuhnya integritas di tubuh pemerintahan.
Guru Besar Komunikasi Politik dari London School of Public Relations Lely Arianie Napitupulu menjelaskan, banyak faktor yang memengaruhi lemahnya etika di kalangan pejabat, dan salah satunya adalah budaya patron-klien yang sangat kental.
“Ketika baru dilantik jadi anggota dewan, lencana kecil DPR itu begitu berharga, dibawa ke mana-mana, bahkan sampai ke acara pernikahan di akhir pekan,” ujarnya.
Selain itu, fenomena ‘flexing’ di kalangan pejabat, dari pakaian bermerek hingga naik kelas bisnis di penerbangan, menambah jarak mereka dari rakyat yang mereka wakili.
“Dulu naik pesawat di ekonomi, sekarang di bisnis. Ketika bertemu dengan konstituen, (konstituen) malah dicuekin,” tambahnya, menggambarkan ironi antara janji politik sebelum terpilih dan kenyataan setelah menjabat.