Pengamat: Kampanye Pilpres Tak Produktif Bagi Pemilih
JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Paramadina Yandi Hermawandi mengatakan kampanye pemilihan presiden (pilpres) banyak mengumbar kata-kata tidak perlu. Bahkan, polemik yang terjadi justru menjauhkan dari esensi demokrasi dan tidak produktif bagi pemilih.
Menurutnya, pernyataan seperti politikus sontoloyo, genderuwo atau tampang boyolali menjadi permainan yang terus direproduksi. Sementara di dalamnya tidak ada informasi yang dibutuhkan masyarakat dalam menentukan pilihan.
"Politik sontoloyo dan genderuwo vs muka boyolali tidak akan berefek pada target elektabilitas. Kampanye politik dengan instrumen semantik (debat diksi) seperti ini hanya berefek pada perhatian pemilih (atensi) tapi tidak berefek pada pilihan (preferensi)," kata Yandi di Jakarta, Selasa (13/11).
Menurutnya, pemilih rasional terutama para kalangan milenial sejatinya masih menunggu perbedaan dari program unggulan pasangan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi.
"Kampanye politik seharusnya menjadi momentum untuk semakin mempertajam tawaran diferensiasi dari program-program unggulan para kandidat kepada masyarakat," ucapnya.
Selain itu, kata dia, pernyataan para capres dan cawapres tersebut berpotensi menjadi hoaks karena ada kesalahan berpikir. Padahal, publik saat ini sedang giat menghindari hoaks.
Menurutnya, pernyataan politikus sontoloyo, genderuwo, dan tampang boyolali, masuk dalam kategori kesalahan berpikir (intelektual cul-de-sac) karena tidak ditopang oleh argumentasi yang kuat.
"Dalam Logika komunikasi politik ini biasa disebut fallacy of hasty generalization, kekeliruan berpikir karena membuat suatu generalisasi yang terburu-buru," ujarnya. (Ant)