Rekonsiliasi Bukan Sekadar Bagi-Bagi
JAKARTA - Pertemuan Presiden terpilih Joko Widodo dan Prabowo Subianto di gerbong Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus-Bundaran HI, Sabtu lalu, dianggap menandai terwujudnya rekonsiliasi politik pasca-Pilpres 2019.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, berharap rekonsiliasi dimaknai secara luas sebagai langkah awal menyatukan kembali masyarakat Indonesia yang terpolarisasi saat Pilpres lalu. Bukan sebaliknya, semata-mata menjadi ajang berbagi kekuasaan.
Sebab, kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, Indonesia membutuhkan keberadaan oposisi konstruktif untuk mengawal kinerja pemerintahan sesuai dengan visi dan misi yang telah dijanjikan ke masyarakat.
"Kalau kita ingin membangun bangsa yang sehat, demokrasi yang sehat, ya perlu oposisi yang kuat dan konstruktif. Konstruktif yakni tidak hanya mengawasi dan mengkritisi tapi juga ikut membangun," kata Ujang Komaruddin, di Jakarta, Senin (15/7).
Dia menilai, tidak perlu partai politik yang awalnya berseberangan dengan koalisi pengusung Presiden terpilih Joko Widodo untuk merapat menjadi satu kapal besar dalam pemerintahan. Dengan adanya rekonsiliasi, maka model yang seharusnya adalah berbagi tugas sesuai proporsi masing-masing, bukan berbagi kekuasaan.
"Rekonsiliasi memang perlu kalau bukan soal power sharing, nah persoalannya yang direkonsiliasi sekarang ini soal power sharing, dan kita akui pasti ke situ arahnya," katanya.
"Mereka enggan menjadi oposisi, dengan menjadi oposisi mereka menderita, tidak ada akses kekuasaan, jabatan, modal finansial dari kementerian yang dijabat, sehingga menghadapi 2024 mereka tidak siap ketika menjadi oposisi," sambungnya.
Jika ini yang terjadi, Ujang khawatir nantinya tidak akan ada yang menjadi oposisi murni dan konstruktif. Akibatnya, pemerintahan berjalan tanpa pengawasan yang baik.