Walhi Minta Publik Boleh Akses Data HGU
JAKARTA - Viralnya film dokumenter Sexy Killer cukup membuat heboh warganet Indonesia. Film ini berisi tentang seluk beluk industri batu bara, yang ternyata memberikan dampak lingkungan dan kesehatan yang sangat signifikan bagi warga sekitar tambangnya.
Setidaknya film itu cukup memberikan pengetahuan dasar tentang seluk beluk bisnis yang lahannya adalah Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah.
Sexy Killer juga membuka cakrawala penontonnya tentang bagaimana listrik murah diproses, listrik murah berasal dari batubara yang dipakai oleh mayoritas warga Indonesia, tetapi di sisi lain ada dampak negatif dari penambangan batu bara tersebut. Dilema.
Persoalan HGU juga sempat mencuat ketika debat calon presiden 2019 putaran kedua. Ketika itu HGU milik Capres Prabowo disebut-sebut oleh Capres Jokowi. Akibatnya lini masa digital mulai menyoroti isu HGU ini.
Bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), persoalan HGU bukan sekadar persoalan musiman apalagi persoalan panggung debat. Ini adalah persoalan yang berkepanjangan yang belum ada titik temunya hingga kini.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan salah satu akar masalah konflik agraria terkait tumpang tindih hak guna usaha (HGU) perusahaan dan tanah warga. Oleh sebab itu, area perusahaan yang berasal dari tanah publik seharusnya bisa diakses sangat mudah oleh publik.
“Kalau informasi soal HGU yang berasal dari publik tidak bisa diakses artinya memang (Kementerian) ATR/BPN perlu dievaluasi oleh Presiden, dalam kondisi ini Presiden perlu bersikap tegas untuk menunjukkan keberpihakannya pada rakyat dan lingkungan hidup,” katanya dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat (10/5).
Ia menjelaskan bahwa Mahkamah Agung sudah memutuskan agar pemerintah membuka data HGU sebagai informasi publik berdasarkan putusan bernomor register 121 K/TUN/2017. Nur juga mengungkapkan salah satu ekses tidak dipatuhinya perintah Mahkamah Agung untuk membuka data HGU, mengakibatkan konflik tak kunjung selesai antara warga Desa Sembuluh I dengan PT Selonok Ladang Mas.
Berdasarkan catatan WALHI, konflik sudah berlangsung sejak 2008 sampai dengan saat ini, bahkan melibatkan oknum Kepolisian dari Polsek Danau di Kalimantan Tengah. Dari keterangan Nur, warga yang memperjuangkan tanah dan sumber kehidupannya di sekitar Danau Sembuluh terus dipaksa untuk menyerahkan tanahnya kepada perusahaan.
Dampak-dampak Persoalan HGU
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa KPK punya catatan terhadap sektor sawit. Dari catatan tersebut terungkap bahwa korporasi sawit memiliki catatan buruk terhadap kepatuhan pajak, bahkan pada 2014 saat ekspor meningkat, tapi pajak dari sektor tersebut justru menurun.
Dari data KPK tahun 2017, kebijakan pengelolaan dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk pengembangan perkebunan sawit rakyat malah dialihkan untuk kepentingan pengembangan industri biodiesel.
Kepentingan ini berupa program subsidi kepada perusahaan biodiesel, yang didominasi penggunaannya oleh lima korporasi sawit berskala besar, yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, Darmex Agro Group, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).
Untuk menyikapi beberapa informasi ini, Nur mengatakan Walhi memandang keterbukaan informasi tidak sekadar membuka peluang untuk menemukan akurasi lokasi konflik antara rakyat dan pemegang izin, namun membantu proses identifikasi dan pemantauan publik terhadap ancaman aktivitas perusahaan yang dianggap membahayakan lingkungan.
Dia mengatakan upaya-upaya langkah mundur seperti ini akan berakibat pada, pertama, melanggengkan konflik agraria, akibat tidak jelasnya data, angka tertinggi luasan konflik berada pada sektor perkebunan.
Kedua, melegalkan praktik koruptif pada praktik perizinan perkebunan sebab menghambat sinkronisasi data antarkementerian, mengingat perbedaan data yg cukup signifikan antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Perhutanan (Kementan).
Ketiga, menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal Mahkamah Agung sudah memutuskan agar pemerintah membuka data HGU sebagai informasi publik berdasarkan putusan bernomor register 121 K/TUN/2017.
Keempat, meningkatnya bencana ekologis dan kerusakan lingkungan, karena faktanya dalam catatan Walhi, setidaknya terdapat izin HGU seluas 1.859.932,50 hektare yang didominasi HGU sawit berada di kawasan kesatuan hidrologis gambut (KHG).
Pada rentang waktu 2017-2018 terjadi peningkatan titik api di ekosistem gambut, dari 346 menjadi 3.427 titik panas sebagai indikasi kebakaran hutan yang meningkat dalam periode terakhir didominasi pada kawasan izin konsesi.
Dampak tersebut, terutama kerusakan lingkungan, bukan hanya dirasakan oleh warga sekitar. Ini juga berdampak pada rantai ekosistem, contohnya satwa Orang Utan yang kehilangan hutan tempat tinggalnya karena pembukaan lahan. Padahal ekosistem tersebut harus dijaga keseimbangannya agar rantai kehidupan tetap berjalan harmoni. (Ant).